Cari :

Selasa, 19 Februari 2019

Mengungkap Rahasia Bakat : Pemberian Tuhan atau Hasil Latihan?

“The more the skill is exercised, the less aware you are of using it. It begins to feelnatural, like you’ve always had it. Walking and talking are good examples”   Daniel Coyle, on The Talent’s Code c. 2009

Sudah lama saya menyimpan pertanyaan mengenai bakat. Apa itu bakat? Bagaimana seseorang mendapatkannya?
Apakah bakat adalah sesuatu yang Tuhan berikan pada orang-orang terpilih, sementara yang lain hanya bisa iri; atau bakat adalah sesuatu yang lain; mentalitas yang dapat dibangun dan dimiliki oleh semua orang? Saya telah menemukan jawabannya dalam buku kecil berjudul The Talent’s Code karya Daniel Coyle ini.

Alkisah, ada salah seorang gadis bernama Clarissa.  Dia  memiliki hobi bermain clarinet.  Sayangnya dia tidak terlalu baik dalam memainkan clarinetnya. Dia kerap gagal menemukan beberapa not yang bisa menghasilkan nada yang bagus, minimal bagi dirinya. Clarissa memutuskan untuk mencari instrumen sampel.  Setelah lama mencari instrumen yang pas, Clarissa pada akhirnya berhasil menemukannya. Praktis, instrumen itu jadi lantunan clarinet favoritnya.

Clarissa mulai mencoba meniru instrumen tersebut. Ia terus mencoba sambil  Mengulang. Gagal. Lalu mengulang lagi. Berlatih. Mencoba ritme baru. Mengulang lagi. Merasakan. Berlatih. Mengulang lagi. Salah. Kemudian diperbaiki. Mengulang lagi. Begitu seterusnya. Dia selalu melakukan penyempurnaan-penyempurnaan dalam latihan-latihan clarinet-nya.

Ada satu hal yang menarik dari kisah yang ditulis oleh Coyle ini. Yaitu progres yang muncul dari latihan-latihan yang dijalankan Clarissa. Mungkin, sekilas tidak terasa, tapi jika jeli, maka kita akan temukan bahwa Clarissa hanya meniru mentah-mentah nada favoritnya itu pada latihan pertama.

Percobaan kedua, rasa ingin tahunya membuatnya ingin mencoba memainkan tone yang lain. Kemudian ia mulai memadukan tone-tone tersebut. Sembari terus latihan, dia mulai bisa merangkai suatu ritme. Seiring berjalannya waktu ia mulai memasang ‘rambu-rambu’ serta target dan pemfokusan dan  penyempurnaan pribadi bagi dirinya secara mandiri. Inilah yang namanya progres.

Ya, dengan terus berlatih maka akan ada progres dan perkembangan yang lebih baik. Bahkan bisa jadi, jika terus dilakukan, manusia melakukannya secara tidak sadar. Seperti Clarissa yang awalnya mencoba-coba memainkan tone lain hanya karena penasaran, bukan secara sadar ingin mengembangkan kemampuannya. Proses latihan itu sendiri akan menciptakan progres. Latihan-latihan berprogres semacam inilah yang disebut Coyle dengan nama ‘deep practice’.

Mudahnya, deep practice atau latihan mendalam adalah kumpulan latihan yang mengasyikkan sehingga membuat diri yang berlatih ketagihan untuk terus mencoba (berlatih), mencoba lagi (berlatih lagi), dan terus mencoba berulang-ulang tanpa henti. Coyle menamakan ini sebagai permainan atau bermain-main sehingga latihan itu terasa tak membosankan.

Seteleh deep practice, ide kunci kedua dalam buku ini hasil riset myelin dan neuron sirkuit dalam otak. Ternyata, apa yang kita biasa sebut dengan bakat sejatinya merupakan buah dari hasil kerja sel-sel dalam otak yang bisa mengurangi kesadaran kita ketika melakukan sesuatu. Sel-sel dalam otak itu hanya akan bekerja ketika kita melakukan hal yang sama—dalam konteks ini disebut dengan ‘latihan’ secara berkesiambungan.

Sekali kita latihan, sebut saja kita latihan mengetik di atas keyboard, maka ribuan sel dalam otak kita akan bekerja dan bergerak. Semakin banyak kita melatih kemampuan tersebut, maka kesadaran kita dalam melakukan hal itu akan berkurang sedikit demi sedikit hingga kita akan mampu melakukannya secara alami. Kita tidak menyadarinya. Proses mengetik yang tadinya butuh konsentrasi penuh, harus sambil melihat keyboard  perlahan bisa kita lakukan tanpa melihat, bahkan sambil bercanda dengan teman semeja.  Semua itu terjadi tanpa kita menyadari proses rumit ribuan sel yang terjadi di otak kita.

Contoh lain adalah ketika kita belajar Bahasa asing. Pada awal-awal belajar bahasa, speaking dan listening akan terasa sangat sulit. Kadang otak kita kebingungan mencerna dan menerjemahkan setiap kata yang masuk, dan apa yang hendak dikeluarkan. Tapi, ketika kita selalu berlatih dan berlatih, kesadaran kita dalam melakukan ‘penerjemahan’ di dalam otak kita akan berkurang sedikit demi sedikit hingga akhirnya kita merasa seperti berbicara atau mendengar dengan bahasa ibu kita sendiri. Bahasa baru yang kita pelajari, yang pada awalnya terasa begitu sulit akan terasa alami kita gunakan jika kita terus melakukan latihan dan sering menggunakan bahasa tersebut dalam keseharian kita.

Saya akan ambilkan contoh lain lagi dari bukunya Malcolm Gladwell. Gladwell mengatakan bahwa kemampuan seseorang akan menjadi sangat runcing  –bahkan seseorang dapat meraih sukses di bidangnya jika ia sudah berlatih selama 10.000 jam. Lalu disebutkan bahwa rahasia di balik kesuksesan The Beatles adalah mereka telah berlatih selama lebih dari 13.000 jam.

Semakin sering seseorang melatih kemampuannya, maka akan semakin ringan beban di otaknya saat melakukan aktivitas tersebut. Apapun itu. Baik mengajar, merawat pasien, mengoperasi, menjahit, memahat dan lain sebagainya. Dengan penjelasan ini, saya benar-benar percaya bahwa usaha dan latihan tak akan mengkhianati hasil.

Mungkin pada awal-awal latihan kita akan merasa sulit. Tentu, itu hal yang wajar. Bahkan pepatah mengatakan “If at first, you don’t success, you normal”. Mengapa bisa begitu? Kembali lagi ke hasil riset tadi, itu dikarenakan sel-sel dalam otak kita masih belum terbiasa untuk melakukannya.

Jika boleh saya umpamakan, maka saya akan katakan bahwa di dalam otak kita itu ada seorang insinyur dan para pekerja bangunan. Sang arsitek atau insinyur dalam otak kita bisa membaca, mempelajari bahkan menggambarkan ulang pola dari apa yang ingin kita tiru dari orang lain. Nah, pola atau skema yang sudah digambar tadi akan dipajang lebar-lebar di dinding otak agar bisa dilihat oleh para pekerja bangunan.

Tapi hal itu tidak lantas membuat para pekerja bangunan bergerak dan membangun bangunan tersebut dalam sekali lihat, tapi perlu ada latihan. Ketika seseorang melatih kemampuannya, maka para pekerja itu akan bergerak dan mulai membangun bangunan tersebut mulai dari pondasi yang paling bawah. Dan saat kita tidak sedang berlatih, saat itu juga para pekerja itu menganggur dan tidur, sementara bangunannya belum selesai.

jika kita terus berlatih, berlatih dan berlatih, maka para pekerja tersebut akan terus dan terus bekerja tak kenal lelah membangun bangunan yang kita sebut dengan ‘talenta’ dalam diri kita. Semakin sempurna bangunan itu, maka akan semakin bagus talenta seseorang.

Kemudian muncul pertanyaan. Bangunan seperti apa yang akan dibangun oleh para pekerja dalam otak kita? Apakah akan sama dengan bangunan yang ada pada otak orang lain? Tentu berbeda, tiap orang memiliki keunikan masing-masing. Keunikan tersebut terbangun oleh latar belakang serta pengalaman yang dimiliki oleh seseorang tersebut. Sehingga, meski sama-sama membangun bangunan talenta sepak bola, tentu akan ada perbedaan di antara keduanya. Inilah yang dinamakan dengan karakteristik dari talenta seseorang.

Ada banyak sekali pemain gitar yang hebat, tapi mungkin genre dan aliran musiknya berbeda. Bisa jadi aliran dan genrenya sama, tapi temponya berbeda. Bisa jadi temponya sama, tapi cara memadukan tone-nya berbeda. Bisa jadi perpaduan tone serta ritme-nya sama tapi cara menggenjrengnya berbeda. Keunikan kita membuat talenta kita tetap orisinal milik kita sendiri.

Oleh : Muhammad Bagir
Sumber : hpiiran.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar